Terkait Penghinaan Islam Oleh Dosen Unimal
Usai disyahadatkan kembali oleh MPU seraya meminta agar
Mirza Alfath (MA) dan masyarakat saling memaafkan, kasus penghinaan terhadap
Islam di akun facebooknya reda di media, tetapi di jejaring sosial dan mulut ke
mulut isu ini masih hangat dibicarakan. Kita pantas bersyukur masalahnya telah
selesai, namun ada hal lain yang luput dari berbagai analisis. Penulis
mendalami isu ini dari dua sisi, Pertama, sebenarnya heboh kejadian ini sangat
dipengaruhi oleh faktor blow up media cetak hingga sang dosen mendapatkan
kawalan polisi bagai seorang pejabat dan akhirnya mendapat sangsi dari rektor
Universitas tempat ia bekerja.
Jika tidak, kasus ini mungkin akan berlalu dengan
sendirinya di alam maya. Ke dua, dari sisi “bahan hinaan” yang diposting oleh
yang bersangkutan, seharusnya menjadi perhatian khusus justru nyaris tidak
“tersentuh”. Opini Hafnidar Hasbi (HH), dosen dari Universitas yang sama,
(Freemason JIL dan Yahudi, Serambi, 30 /11/2012) sebenarnya juga tidak memberi
jawaban spesifik untuk itu walaupun menurut HH secara pribadi MA mengaku
sebagai penganut freemason.
Semua sepakat tentang keharusan mewaspadai gerakan
laten freemason, JIL atau sejenisnya dengan berbagai upaya antisipatif yang
disinggung panjang lebar dalam opini tersebut. Tetapi mengkooptasikan analisis
dan kesimpulan bahwa yang bersangkutan memiliki keterkaitan organisatoris
dengan Freemason, JIL atau Yahudi diperlukan pembuktian, jika tidak
dikhawatirkan akan menjadi “senjata makan tuan”. Tuduhan tak berdasar, bahkan
tidak tertutup kemungkinan akan mengarah ke ranah pidana.Al- Qur’an mengajarkan
agar dalam menyikapi berbagai objek berita harus dimulai dengan prinsip dan
langkah-langkah check, re-check and balance.
Selain itu, ada uraian HH yang sangat berpotensi
menimbulkan bias bagi masyarakat luas untuk tidak dibenarkan berpikir kritis,
misalnya HH menyebutkan bahwa latar belakang seorang jadi freemason disebabkan
“..adanya pergulatan pikiran hebat yang terjadi dalam diri seseorang yang
cenderung terlalu berpikir kritis terhadap fenomena di sekelilingnya” … Mereka
siap melindungi dan terus merekonstruksi pemikirannya (cuci otak) melalui
diskusi- diskusi, forum ilmiah, media cetak maupun elektronik.
Pernyataan ini bisa membunuh kebebasan media dan
lembaga pendidikan, menggiring umat untuk tidak boleh berpikir kritis terhadap
fenomena yang terjadi di sekitar plus persoalan global yang secara tidak
langsung terkait dengan kita. Sebaliknya, diskusi kelompok kecil atau publik
harus semakin digalakkan untuk memunculkan ide- ide brilian, merajut perbedaan-
perbedan pandangan menjadi solusi alternatif mengenai masalah yang sedang
dihadapi oleh masyarakat.
Di era Blackberry Messenger (BBM) ini, isu apapun bisa
menyebar cepat setiap saat, sebab itu kita ingin agar reaksi massa tidak
berujung pada “vonis dan hukuman” di luar penegak hukum/ lembaga peradilan.
Seperti kasus Peulimbang yang kebetulan terjadi beruntun sebelum kasus MA,
sebelumnya ada 'insiden' sekolah Fajar Hidayah, dan masih banyak lagi. Apalagi
bila sampai mengakibatkan nyawa melayang “sia- sia”, karena kekerasan /
pembunuhan dengan alasan dan dalam bentuk apapun di luar proses pengadilan
tidak dibenarkan oleh hukum Negara/ Agama.
Dalam sebuah Hadits Rasul bersabda: ”Si pembunuh dan
yang dibunuh masuk neraka”, maksudnya jika terjadi kasus saling serang/ bunuh,
para terduga pelaku harus difasilitasi untuk berdamai secara kekeluargaan, jika
tidak tercapai kesepakatan damai baru ditempuh jalur hukum. Bagaimanapun, orang
yang masih hidup tetap terbuka kemungkinan untuk berdialog, diberi pencerahan
dan bertaubat sebab Allah Maha menerima taubat, hanya saja tentu membutuhkan
“pendekatan” dan waktu. Tidak sedikit orang yang awalnya menghujat Islam dari
kalangan muslim atau nonmuslim, setelah memahami dengan benar dan bertaubat,
tampil menjadi pembela Islam di garda terdepan seperti Umar Ibn Khattab RA.
Benar bahwa masyarakat memiliki kewajiban mengawasi
pelaksanaan syari’at atau bila menduga ada praktik menyimpang, tetapi tetap
harus berkoordinasi dengan pihak berwenang dan bila kemudian terbukti sipelaku
belum menghentikan kegiatan nya, dengan kepala dingin dan seksama, tetap saja
harus ditempuh upaya secara hukum bersama pihak berwenang. Bila tidak, situasi
justru akan semakin panas, meruncing, tak terkendali sehingga tindakan fisik
alam bawah sadar karena terbakar nafsu amarah. Dalam skala makro ini bisa
merambat dan melahirkan dendam- dendam baru menjadi konflik horizontal
berkepanjangan yang terlalu sulit untuk dipulihkan.
Nampaknya indikasi ke arah itu sudah ada karena ini
bukan kasus pertama, na’ udzubillah. Hendaknya jangan sampai ada kesan “pembiaran”
terhadap kasus- kasus seperti ini, akhirnya “mengendap” apalagi menganggapnya
sebagai efek jera agar aliran sesat tidak terulang. Menurut antropolog muslim,
akar munculnya aliran sesat adalah ideologi akibat “kekosongan spiritual”
sehingga orang yang notabene berpendidikanpun bisa terjangkit, kasarnya, orang
yang menganut sebuah ideologi dalam kadar yang ekstrim “tidak takut mati”.
Untuk melawannya diperlukan gerakan “counter ideologi” secara sistematis di
semua lini terutama oleh kalangan Ulama Dayah, Kampus, LSM, Pemerintah dan
tokoh masyarakat karena tindakan fisik berresiko semakin menyuburkannya.
Memang tidak mudah, mungkin jika penulis berada di
lokasi juga akan serba spontan dan emosional, manusiawi. Tetapi yang harus
diingat bahwa jangan sampai niat membela agama (syari’at) dalam hitungan menit
berubah menjadi bumerang tanpa sadar merusak sendi- sendi sosial dan ukhuwwah
Islamiyyah yang mudah sekali dimanfaatkan oleh kelompok tertentu termasuk
jaringan freemason, JIL, Yahudi dan lain- lain. Bahkan orang Islam anti-
syari’at sendiri untuk kepentingan merusak syari’at dari dalam.
Ke luar, mereka mempromosikan “wajah Islam” (syi’ar)
yang angker dan menyeramkan, bahkan yang lebih miris bukan hanya dari isu- isu
ekternal Islam, isu internal Islam seperti perbedaan aliran keislaman (mazhab)
yang dibenarkan oleh agama pun selama ini faktanya lebih ampuh ‘menggerogoti’
fondasi persatuan dan menyulut permusuhan sesama umat Islam.
Kembali ke MA, dari sisi “bahan olok- olok”, sebagian
postingnya merupakan klaim atau pertanyaan- pertanyaan ‘biasa’ yang telah lama
berkembang dalam kajian keislaman sehingga tidak seluruhnya murni penghinaan
tapi juga faktor keawaman. Untuk itu, tidak semuanya harus dikemukakan atau
dijawab melalui karya ilmiah/ ilmiah populer seperti saran Hasan Basri M. Nur
(Al- Qura’n Bukan Skripsi, Serambi, 7/12/2012). Status dan komentar jejaring
sosial juga merupakan ruang lingkup tersendiri dalam membangun kultur
peradaban.
Hadits Rasulullah memberi bimbingan untuk ini:
“Berbicaralah kepada manusia menurut tingkat pemahamannya”. Artinya ada level
kajian tertentu yang merupakan “konsumsi” forum terbatas tidak boleh disebarkan
ke publik tampa “sensor”. Nah, dengan berprasangka baik, di sinilah letak
herannya, dari sekian banyak facebooker yang sudah lama berdebat dengan MA
tidak adakah yang mampu menjawab ‘celotehan- celotehan liar’ nya sehingga butuh
“bantuan” media cetak? Ada apa di balik ini?
Beruntung dan respek kepada respon cepat aparat
keamanan, kebijakan MPU dan sikap warga dalam menyikapi “efek negatif” dari
surat pembaca (T. Zulkhairi, Droe keu droe, Serambi, 20/11/2012) tidak
berakibat fatal.
Wahbah Zuhaily, Pakar Hukum Islam Internasional di sela- sela kunjungannya ke Aceh beberapa waktu lalu, sempat mengingatkan Aceh agar tidak “overdosis” menghadapi berbagai kritikan penegakan syari’at Islam. Ia menegaskan: “bahwa Aceh sedang mengemban tugas besar, jalannya masih panjang dan terjal, pada hakikatnya menjawab kritik dengan cara- cara yang cerdas dan proporsional adalah bagian fundamental dari syari’at itu sendiri yang sangat dikedepankan sejak era Nabi Muhammad SAW”.
Wahbah Zuhaily, Pakar Hukum Islam Internasional di sela- sela kunjungannya ke Aceh beberapa waktu lalu, sempat mengingatkan Aceh agar tidak “overdosis” menghadapi berbagai kritikan penegakan syari’at Islam. Ia menegaskan: “bahwa Aceh sedang mengemban tugas besar, jalannya masih panjang dan terjal, pada hakikatnya menjawab kritik dengan cara- cara yang cerdas dan proporsional adalah bagian fundamental dari syari’at itu sendiri yang sangat dikedepankan sejak era Nabi Muhammad SAW”.
Karenanya, diperlukan kehati hatian dalam memblow up
isu- isu sensitif di media massa sehingga tidak perlu “membakar lumbung padi
hanya untuk menangkap seekor tikus”. Pola pengelolaan dan respon isu via media
massa secara terukur dan objektif dari ‘subjek berita’, ‘objek berita’ dan
‘publik’ akan berdampak positif bagi terciptanya keseimbangan antara etika dan
kebebasan berekspresi di dunia maya. Tentu saja bukan ’kebebasan mutlak’ ala-
barat.
Sebagai contoh, penulis coba menjawab posting MA
tanggal 3 Juli 2012; "Hukum Syariah jelas banyak sekali kelemahan dan
kekurangan, ia sudah tidak layak lagi dipertahankan bagi manusia modern dan
masyarakat maju. Hukum syariah hanya cocok pada jamannya ketika manusia masih
minim ilmu pengetahuan”. Salah satu kelemahan syariah Islam adalah bahwa
hukum-hukumnya tidak pernah memperkenankan 'bukti- bukti lapangan' dan ilmu
pengetahuan dalam mengambil keputusan hukum, ia hanya bersandar pada
saksi-saksi yang ter-reputasi, misalnya dalam kasus pemerkosaan, “korban harus
membawa 4 orang saksi yang melihat langsung untuk menjatuhi hukuman kpd
tersangka". Sementara dalam kasus perzinahan, perempuan hamil cukup
dijadikan bukti perzinahan telah terjadi untuk di rajam (meskipun hukum rajam
sendiri tidak diatur dalam Al-Quran). Adakah keadilan dalam hukum Allah yang
katanya Maha Adil itu?" (rilis theglobejournal.com, 23/11/2012).
Kesimpulan di atas rancu, dalam sistem hukum Islam,
saksi bukan satu- satunya alat bukti. Secara tersurat Al- Qur’an baik untuk
kasus pemerkosaan atau zina memang tidak menggunakan istilah alat bukti (al-
bayyinah), tetapi istilah ini diterangkan lebih lanjut dalam Hadits. Lafaz al-
bayyinah memiliki makna tak terbatas mencakup segala sesuatu yang sah dan bisa
menjadi alat bukti di pengadilan seperti surat- surat, alat pemeriksaan
setempat (bukti- bukti lapangan). Keterangan ahli termasuk bantuan iptek/ sains
seperti tes medis (DNA) untuk kasus pemerkosan/ perzinahan, uji laboratorium
biji kopi luwak dan lain- lain sehingga sangat layak dipertahankan bagi manusia
super modern sekalipun.
Yang tidak realistis, bila al- Qur’an/ Hadits menyebut
DNA, laboratorium, CCTV dan sebagainya yang belum ada pada saat diwahyukan oleh
Allah. Harusnya 4 orang atau 2 orang saksi yang ter- reputasi sesuai konteksnya
di mana kondisi waktu itu saksi masih merupakan alat bukti yang dominan dan
meminimalisir terjadinya kesaksian palsu. Inilah letak keadilan Allah yang Maha
Tahu dan Maha adil. Ya, semoga MA menjadi yang terakhir, bila ia serius ingin
mempertahankan pahamnya, silahkan berargumen “seliar- liarnya” di forum- forum
tertentu bersama para ahli. Kalaupun ingin memposting di jejaring sosial jangan
lupa menuliskan kata- kata ”status dan komentarnya bukan untuk konsumsi media
cetak (publik)!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar